I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar asli Indonesia yang tersebar di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan . Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi, rasa dagingnya khas, enak, lezat dan gurih sehingga digemari oleh masyarakat. Ikan patin dinilai lebih aman untuk kesehatan karena kadar kolesterolnya rendah dibandingkan dengan daging hewan ternak. Selain itu ikan patin memilki beberapa kelebihan lain, yaitu ukuran per individunya besar. Menurut Susanto dan Amri (2002), di alam panjang ikan patin bisa mencapai 120 cm.
Beberapa kelebihan tersebut menyebabkan harga jual ikan patin tinggi dan sebagai komoditi yang berprospek cerah untuk dibudidayakan. Selain dimanfaatkan sebagai daging segar juga bisa dimanfaatkan sebagai makanan olahan. Berbagai bentuk dan jenis daging olahannya saat ini sudah memasyarakat, seperti martabak patin, pastel kembang patin, pring roll patin, kongtin (Singkong dicampur daging patin), fish nugget, sosis dan fish stick. Sektor perikanan khususnya budi daya ikan patin diharapkan menjadi tumpuan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi krisis ekonomi global.
Ke depan, peluang usaha budi daya patin dipastikan makin terbuka lebar menyusul telah dicanangkannya Program Gerakan Serentak (Gertak) Pengembangan Ikan Patin di tujuh Provinsi di Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada Januari 2006 lalu di Jambi. Ketujuh provinsi yang dinilai mampu mengembangkannya dengan baik adalah Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa Barat. Dalam pencanangan tersebut, sekaligus ditandatangani kesepakatan antara eksportir dan pemerintah. Eksportir menyatakan kesanggupan untuk menampung produksi patin di Indonesia dari tujuh Provinsi tersebut untuk diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Permintaan ikan patin di Eropa saat ini sangat tinggi, hal ini menyusul dengan adanya kebijakan Uni Eropa untuk membatasi perburuan ikan cod. Ikan patin memiliki kemiripan tekstur dengan ikan cod, diantaranya dagingnya berwarna putih. Kontan Oneline (2009) menuliskan, nilai protein daging patin mencapai 68,6% dengan kandungan gizi lainnya berupa lemak 5,8%, abu 5% dan air 59,3%. Berat ikan setelah disiangi sebesar 79,7% dari berat awalnya, sedangkan fillet (daging ikan tanpa kepala dan tulang) yang diperoleh dari bobot ikan seberat 1-2 kg mencapai 61,7%
Kegiatan budidaya ikan berhasil atau gagalnya tergantung dari pakan yang dikonsumsi dan kualitas air sebagai media tempat ia hidup. Ikan patin mampu bertahan hidup pada perairan yang kondisinya sangat jelek tetapi ia tidak dapat bertahan apabila media hidupnya terkontaminasi kadar garam (salinitas) secara berlebihan, karena di habitat aslinya ikan patin merupakan jenis ikan air tawar. Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 yang didefenisikan sebagai jumlah total kandungan gram terlarut pada suatu perairan yang satuannya dinyatakan dengan parts per thousand (ppt) atau permil (‰) dan dapat diartikan sebagai jumlah garam dalam gram untuk setiap liter larutan. Kordik (2005) mengatakan, Secara umum kriteria air yang baik untuk kelangsungan hidup ikan patin salinitasnya tidak melebihi 5 ppt. Ababila kandungan garam pada suatu perairan melebihi batas tersebut, kelangsungan ikan patin menjadi terganggu, ikan akan mudah stres dan rentan pada penyakit yang akhirnya akan mengalami kematian.
1.2. Perumusan Masalah
Kegiatan budidaya ikan tujuan utamanya adalah mengaharapkan hasil produksi yang akan didapat bisa maksimal, namun berbagi faktor yang sering menjadi hambatan bagi pembudidaya sehingga usaha yang dilakukan tidak sesuai dengan keinginan atau target produksi menurun. Menurunnya hasil produksi atau gagalnya budidaya yang dilakukan akibat masih kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan, terutama mengenai kondisi kualitas air. Salah satu parameter kualitas air yang sangat dipertimbangkan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan patin adalah salinitas. Kemampuan ikan untuk beradaptasi dengan perairan yang mengandung salinitas dengan berbagai konsentrasi diperoleh melalui adaptasi osmoregulatory yang memberikan kemampuan bagi ikan untuk mengatur tekanan osmotic cairan tubuhnya. Apabila ikan patin dipindahkan keperairan yang bertekanan osmotic yang lebih tinggi maka mereka akan mati dengan cepat karena tidak dapat mentolerir atau beradaptasi pada lingkungan tersebut.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan garam (salinitas) yang ideal pada suatu perairan bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan patin. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai sumber informasi atau bahan acuan bagi pembudidaya ikan patin khususnya budidaya yang dilakukan pada perairan yang kualitas airnya sangat dipengaruhi oleh salinitas.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin
Menurut Kordik (2005), Sistematika ikan patin diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Clasiss : Pisces
Sub-clasiss : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Siluroidae
Familia : Pangasidae
Genus : Pangasius
Species : Pangasius djambal
Djariah (2001) mengemukakan, Ikan patin memiliki warna tubuh putih keperak-perakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil. Ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut pendek. Susanto dan Amri (2002) menambahkan, pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada mempunyaii 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil. Di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil.
Di Indonesia, ada dua macam ikan patin yang dikenal yaitu patin lokal (Pangasius pangasius) atau sering pula disebut jambal (Pangasius djambal) dan patin Bangkok atau patin Siam (Pangasius hypophtalamus sinonim P. sutchi). Saanin (1984) mengatakan, patin jambal memiliki sungut rahang atas jauh lebih panjang dari setengah panjang kepala dan hidung sedikit menonjol kemuka serta mata agak ke bawah. Sedangkan Hernowo (2005) menjelaskan, Patin siam merupakan ikan introduksi yang masuk ke Indonesia pada tahun 1972 dari Thailand. Menurut Agribisnis & Aquacultures (2009), jenis ikan patin yang benar-benar baru dan asli dari Indonesia adalah Patin pasupati. Patin jenis ini dihasilkan dari persilangan antara patin siam betina dan patin jambal jantan untuk pertama kalinya. Keunggulan dari patin ini adalah memiliki daging yang berwarna putih, kadar lemak yang relatif rendah, laju pertumbuhan badan yang relatif cepat dan jumlah telur yang relatif banyak. Daging yang berwarna putih dan bobot tubuh yang besar diturunkan dari patin jambal, sementara jumlah telur yang relatif banyak diturunkan dari patin siam.
Menurut Warintek (2002), kerabat patin di Indonesia terdapat cukup banyak diantaranya Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan Rios, Riu, Lancang), Pangasius micronemus (ikan Wakal, Riuscaring), Pangasius nasutus (ikan Padado), Pangasius nieuwenhuisii (ikan Lawang).
2.2. Habitat dan Penyebaran
Di alam, penyebaran geografis ikan patin cukup luas, hampir di seluruh wilayah Indonesia. Secara alami ikan ini banyak ditemukan di sungai-sungai besar dan berair tenang di Sumatera, seperti Sungai Way Rarem, Musi, Batanghari dan Indragiri. Sungai-sungai besar lainnya di Jawa, seperti Sungai Brantas dan Bengawan. Bahkan keluarga dekat lele ini juga dijumpai di sungai-sungai besar di Kalimantan, seperti Sungai Kayan, Berau, Mahakam, Barito, Kahayan dan Kapuas. Umumnya, ikan ini ditemukan di lokasi-lokasi tertentu di bagian sungai, seperti lubuk (lembah sungai) yang dalam (Agribisnis & Aquacultures, 2009). Susanto dan Amri (2002) mengatakan, ikan patin bersifat nocturnal atau melakukan aktivitas dimalam hari sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya dan termasuk ikan dasar, hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah.
Ikan ini mampu bertahan hidup pada perairan yang kondisinya sangat jelek dan akan tumbuh normal di perairan yang memenuhi persyaratan ideal sebagaimana habitat aslinya. Kandungan oksigen (O2) yang cukup baik untuk kehidupan ikan patin berkisar 2-5 ppm dengan kandungan karbondioksida (CO2) tidak lebih 12,0 ppm. Nilai pH atau derajat keasaman adalah 7,2-7,5, konsentrasi sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) yang masih dapat ditoleransi oleh ikan patin yaitu 1 ppm. Keadaan suhu air yang optimal untuk kehidupan ikan patin antara 280 C-290 C. Ikan patin lebih menyukai perairan yang memiliki fluktuasi suhu rendah. Kehidupan ikan patin mulai terganggu apabila suhu perairan menurun sampai 140 C-150 C ataupun meningkat diatas 350 C. Aktivitas patin terhenti pada perairan yang suhunya dibawah 60 C atau diatas 420 C (Djariah, 2001).
2.3. Pakan dan kebiasaan makan ikan patin
Menurut Djariah (2001), Ikan patin memerlukan sumber energi yang berasal dari makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke arah karnivora. Susanto dan Amri (2002) menjelaskan, di alam makanan utama ikan patin berupa udang renik (crustacea), insekta dan moluska. Sementara makanan pelengkap ikan patin berupa rotifera, ikan kecil dan daun-daunan yang ada di perairan. Apabila dipelihara di jala apung, ikan patin ternyata tidak menolak diberi pakan, sesuai dengan penelitian Arifin (1993) dalam Cholik et al (2005) yang menyatakan bahwa ikan patin sangat tanggap terhadap pakan buatan.
2.4. Salinitas
Penentuan harga salinitas dilakukan dengan meninjau komponen yang terpenting yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air. Kandungan garam pada sebagian besar danau, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai . Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Menurut Suardi (2005), air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%, apabila lebih dari 5% air disebut brine.
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar terlarut dalam air Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah (Wikipedia, 2005). Satuan salinitas yang digunakan saat ini adalah ppt (parts per thousand), atau permil (‰) atau sama dengan jumlah gram garam untuk setiap liter larutan. Jenis ikan air tawar berbeda-beda dalam mentolerir salinitas di suatu perairan. Apabila kandungan garam melebihi nilai ambang batas untuk kehidupan ikan, maka dipastikan akan mengganggu kelangsungan hidupnya. Kordik (2005) mengatakan ikan patin masih dapat hidup pada perairan dengan salinitas 5 ppt.
Salinitas adalah kadar garam terlarut dalam air. Satuan salinitas adalah permil (‰), yaitu jumlah berat total (gram) material padat seperti NaCl yang terkandung dalam 1000 gram air laut. Tujuh ion utama yang berkontribusi terhadap salinitas adalah sodium, potasium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat dan bikarbonat. Salinitas merupakan bagian dari sifat fisik kimia suatu perairan selain suhu, pH, oksigen terlarut dan substrat. Salinitas dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan, presipitasi dan topografi pada suatu perairan. Akibatnya salinitas suatu perairan dapat sama atau berbeda dengan perairan lainnya. Kisaran salinitas air laut adalah 30-35‰, estuari 5-35‰ dan air tawar 0,5-5‰. Salinitas suatu kawasan menentukan dominansi makhluk hidup pada daerah tersebut yang terkait dengan tingkat toleransi spesies tersebut terhadap salinitas yang ada.
Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan ionik air. Semakin tinggi salinitas akan semakin tinggi pula tekanan osmotik air. Agar sel-sel organ tubuh ikan dapat berfungsi dengan baik maka sel-sel tersebut harus berada dalam cairan media dengan komposisi dan konsentrasi ionik yang sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan (osmoregulasi) agar tercipta konsentrasi ionik cairan dalam sel (intraseluler) dengan cairan luar sel (ekstraseluler) yang mendekati nilai yang sama. Tingkat tekanan osmotik yang diperlukan oleh ikan akan berbeda-beda menurut jenisnya sehingga toleransi terhadap salinitasnya juga berbeda-beda. Hasil penelitian Hardjamulia et al., (1986) dalam Radyo (2009) menunjukkan bahwa kadar garam dalam air berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan jambal siam (Pangasius sutchi). Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan jambal siam meningkat sampai kadar garam 3,2 ppt dan larva mati semua pada kadar 12,8 ppt dalam waktu dua hari.
2.5. Hipotesis
Diduga salinitas yang optimal untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan patin adalah tidak melebihi dari 3,2 ppt.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan selama 45 hari pada bulan Agustus sampai September 2010 di Laboratorium Basah Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muhammadiyah Pontianak.
3.2. Bahan dan Alat
3.2.1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan patin ukuran 5 cm sebanyak 240 ekor yang diperolah dari UPIS Anjungan, air dari PDAM, pakan ikan dan NaCl.
3.2.2. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam kegiatan ini adalah akuarium ukuran 20 l sebanyak 24 buah, aerator, bak fiber, waring, serokan, ember, termometer, pH test, refraktometer, DO meter, ball point, buku catatan, penggaris dan alat dokumentasi.
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Persiapan Penelitian
a. Sebelum melakukan penelitian persiapan yang dilakukan adalah menyediakan tempat, membersihkan akuarium, mengisi air 10 l setiap wadah dan memasang aerator pada akuarium penelitian.
b. Pemberian konsentrasi garam setiap perlakuan harus tepat dengan megetahui banyak air dalam wadah, air yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 10 l/wadah. Jadi, konsentrasi garam dikalikan volume air (l) dalam wadah.
3.3.2. Pelaksanaan Penelitian
Ikan uji dimasukkan ke dalam akuarium penelitian dengan volume air 10 l/wadah, setiap wadah dimasukkan ikan sebanyak 10 ekor. Ikan yang digunakan adalah ikan patin berukuran 5 cm. Jumlah garam yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam wadah penelitian yang kemudian tercampur media air dan ikan uji, dengan demikian salinitas air dalam wadah akan bertambah sesuai dengan perlakuan yang dilakukan. Ikan patin diamati dengan melihat kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan selama penelitian
3.4. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 taraf perlakuan (0 – 5 ppt) yang masing-masing perlakuan dilakukan 4 ulangan.
Adapun perlakuan salinitas yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perlakuan A media pemeliharaan dengan salinitas 0 ppt (kontrol)
2. Perlakuan B media pemeliharaan dengan salinitas 1 ppt.
3. Perlakuan C media pemeliharaan dengan salinitas 2 ppt.
4. Perlakuan D media pemeliharaan dengan salinitas 3 ppt.
5. Perlakuan E media pemeliharaan dengan salinitas 4 ppt.
6. Perlakuan F media pemeliharaan dengan salinitas 5 ppt.
Model RAL yang digunakan adalah :
yij = µ + τ + i + εij
Dimana : yij : Nilai pengamatan yang ditimbulkan perlakuan
µ : Nilai tengan dari seluruh perlakuan
τ : Pengaruh karna adanya perlakuan ke I
εij : Pengaruh nilai sisa
i : Perlakuan ke i
j : Perlakuan ke j
Tabel 1. Model Penyusunan Data Pengamatan Dengan Menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
PERLAKUAN | ULANGAN | JUMLAH | RATA- RATA | |||
I | II | III | IV | |||
A B C D E F | A1 B1 C1 D1 E1 F1 | A2 B2 C2 D2 E2 F2 | A3 B3 C3 D3 E3 F3 | A4 B4 C4 D4 E4 F4 | ∑A ∑B ∑C ∑D ∑E ∑F | ỲA ỲB ỲC ỲD ỲE ỲF |
Jumlah | ∑Y | Ỳ |
3.5. Variabel Pengamatan
Selama penelitian variabel yang akan diamati dan diuji adalah kelangsungan hidup, pertumbuhan ikan patin, konversi pakan dan data kualitas air khususnya salinitas yang ideal bagi pertumbuhan ikan patin.
3.5.1. Laju Pertumbuhan Harian Relatif
et al. untuk mengetahui bobot ikan perhari maka dihitung laju pertumbuhan harian dan dirumuskan sebagai berikut
et al. untuk mengetahui bobot ikan perhari maka dihitung laju pertumbuhan harian dan dirumuskan sebagai berikut

G = (Wt – Wo) / Wo x H x 100 %
Keterangan :
G = Laju pertumbuhan harian (%/hari)
Wt = Berat rata-rata ikan akhir (g)
Wo = Berat rata-rata ikan awal (g)
H = Lama Pemeliharaan (hari)
3.5.2. Kelangsungan Hidup
Menurut Effendie (1999), tingkat kelangsungan hidup dinyatakan dalam persentase dari organisme yang hidup pada awal dan akhir penelitian dan dirumuskan sebagai berikut :
SR = (Nt / No) x 100 %
Keterangan : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir pengamatan (ekor)
No = Jumlah ikan yang hidup pada awal pengamatan (ekor)
3.5.3. Konversi Pakan
Selanjutnya parameter lain yang berhubungan dengan pertumbuhan yaitu konversi pakan. Konversi pakan dapat dihitung dengan cara membagi jumlah total berat pakan yang diberikan selama masa pemeliharaan di bagi dengan berat total biomassa pada akhir pemeliharaan dikurang dengan jumlah berat total ikan yang mati dan total berat awal biomassa dan berat akhir, yang dihitung berdasarkan rumus Djarijah (1995), yaitu :
FCR = F / (Wt - D) + Wo
Keterangan : FCR = Konversi pakan
Wt = Bobot total ikan pada akhir penelitian (g)
Wo = Bobot total ikan pada awal penelitian (g)
D = Bobot total pakan yang diberikan selama penelitian (g)
3.5..4. Kualitas Air
Kualitas air yang diukur dalam Penelitian ini antara lain salinitas, oksigen terlarut, pH dan suhu.
3.6. Analisis Data
Data kelangsungan hidup sebelum dianalisis terlebih dahulu diuji kenormalannya dengan Lilifefors. Selanjutnya data yang telah diuji kenormalannya tersebut dibagi lagi kehomogenannya dengan menggunakan uji homogenitas Ragam Barlet. Apabila dinyatakan tidak normal atau homogen, maka sebelum dianalisis keragaman dilakukan transformasi data. Bila data sudah normal atau homogen, maka dapat langsung dianalisis keragamannya dengan sidik ragam.
Tabel 2. Analisis Keragaman Model RAL
Sumber Keragaman | db | JK | KT | F Hit | F Tab 5% 1% |
Salinitas Sesatan | S-1 S(r-1) | JKp JKs | JKp/ dbp JKs/dbs | KTp/KTs | |
Total | Pr-1 | JKt |
- Jika F Hitung > F tabel 1 % berarti perbedaan perlakuan sangat nyata
- Jika F Hitung 5% < F hit < F tabel 1% berarti perbedaan perlakuan nyata
- Jika F Hitung < F tabel 5% berarti perbedaan perlakuan tidak nyata
Jika analisis berbeda nyata maka perhitungan dilanjutkan dengan uji lanjutan BNT perlakuan (Beda Nyata Terkecil) dan Beda Nyata Jujur (BNJ). Sebelum uji ini dipergunakan, terlebih dahulu dilakukan perhitungan koefisien keragaman.
thank's gan,,bermanfaat banget
BalasHapus